EKSISTENSIALISME
1. Terminologi Eksistensialisme
Eksistensialisme
berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar “existency” yaitu “exist”. Kata
“exist” adalah bahasa Latin yang artinya : “ex”, keluar dan “sistare” artinya
berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.[1]
Dalam
membuat definisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidak sama. Namun
demikian, ada sesuatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Ahmad
Tafsir mengatakan bahwa filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat
eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat eksistensi yang menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral. Adapun yang dimaksud dengan filsafat
eksistensialisme, rumusannya lebih sulit daripada eksistensi. Sejak muncul
filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan
filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal
menghadapkan manusia kepada dirinya seperti eksistensialisme.[2]
Eksistensialisme
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia
berada di dunia, hewan dan pepohonan pun berada di dunia. Akan tetapi, cara
beradanya tidak sama. Manusia berada di dunia, ia mengalami beradanya di dunia
itu menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia dan mengerti
apa yang dihadapinya. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu
diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini
? artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari,
yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut objek.[3]
Ada
beberapa tokoh filsafat eksistensialisme, diantaranya yaitu : Martin Heidegger,
J.P. Sartre, dan Gabriel Marcel.[4]
A. Martin Heigger (1905 M)
Menurut
Martin Heigger, keberadaan hanya akan dapat menjawab melalui jalan ontologi,
artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam
hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi fenomenotogis. Jadi yang
penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
Satu-satunya
yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia.Keberadaan
manusia disebut desein (berada di
sana, di tempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Desein manusia disebut juga eksistensi.
Keberadaan
manusia, yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat member tempat kepada
benda-benda yang di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan
dengan manusia-manusia lain, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya.[5]
B. J.P. Sartre
Menurut
Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Filsafat eksistensialisme
membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan
kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema
sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya
manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, dan bebatuan memang ada,
tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi. Filsafat eksistensialisme
mendamparkan manusia ke dunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya
sendiri.[6]
C. Gabriel Marcel
Dalam
filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi
bersama-sama dengan orang lain. Akan tetapi, manusia memiliki kebebasan yang
otonom. Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi
(berproses) atau being and becoming. Ia selalu menghadapi objek yang harus
diusahakan, seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.[7]
2. Macam-macam Filsafat
Eksistensialisme
a. Eksistensialisme
Murni. Dinamkan demikian karena ia terbatas dari semua keyakinan yang
diwariskannya. Cabang ini diwakili oleh Heidegger dan Sartre.
b. Eksistensialisme
Terikat. Berhubungan dengan suatu keyakinan tertentu. Diwakili oleh Karl
Jespers dan Gabriel Marcel.
3. Karakteristik Umum Filsafat
Eksistensialisme
a. Eksistensi
mendahului esensi
Bahwa manusia ditemukan, setelah itu ia
mengakui sisi keistimewaan dan sifat-sifatnya. Oleh karena itu manusia bukanlah
eksistensi sempurna, bahkan manusia adalah tendensi (kecenderungan), usaha
keras dan rencana.
b. Eksistensi
manusia
Eksistensi yang diperhatikan oleh
filsafat eksistensialisme pada tingkat pertama adalah eksistensi manusia.
c. Manusia
merdeka dan bebas memilih
Ia memilih apa yang mungkin bisa
diwujudkannya diantara kemungkinan yang diberiakan kepadanya. Ketika memilih,
manusia berani menempuh resiko karena ia bisa masuk dalam kesuksesan atau
kegagalan.
d. Eksistensi
dan non-Eksistensi
Resiko dan bahaya yangb terus-menerus mengancam alam
eksistensi menjadikan manusia merasakan nihilsme.[8]
[1]
Ahmad Tafsir, 2006 : 218
[2]
Ahmad Tafsir, 2006 : 218-219
[3]
Ahmad Tafsir, 2006 : 218-219
[4]
Ahmad Tafsir, 2006 : 218-219
[5] Drs.
Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. , 2008 : 334-335
[6]
Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. , 2008 : 336
[7]
Drs. Atang Abdul Hakim, M.A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. , 2008 : 337
[8]
Dr. Fuad Farid Isma’il dan Dr. Abdul Hamid Mutawalli, 2012 : 148-150